PRAHARA MAHA GELANG

3

Semua mata tertuju pada sosok lelaki yang berdiri diantara warga Mudal Bening. Suasana menjadi begitu tegang namun selamatlah jiwa dukuh mudal bening untuk sementara waktu. Ketegangan itu bercampur dengan kebingungan, bahkan bagi warga desa mudal bening. Bahwa ternyata pelaku yang bernai melawan prajurit utusan kerajaan Watu Mukti adalah seorang lelaki tua yang begitu akrab bagi mereka. Dialah yang berteriak lantang mencegah salah satu dari kelima gerombolan Banas Pati memenggal kepala dukuh mereka. Warga mengenalnya sebagai lelaki biasa yang hidup berdampingan dengan mereka. Tak nampak tanda-tanda bahwa ia seorang perkasa yang memiliki ilmu kanuragan.

 

Demikian pula halnya dengan Samana. Ia terkejut bukan main ketika ada seseorang telah mengaku sebagai dalang atas perkara yang sejatinya ia sendiri yang melakukan. Keringatnya mengalir dan detak jantungnya tak beraturan ketika ia mengetahui bahwa orang itu adalah Eyang Jati. Seorang yang selama satu tahun ini telah menerimanya sebagai seorang perantauan. Lebih dari sekadar memberikan tempat tinggal, Eyang Jati juga mengajarkan bagaimana cara bercocok tanam bahkan mengasah ketajaman budi seseorang. Samana cemas akan keselamatan Eyang Jati. Ia dirundung perasaan bersalah hingga keadaan menjadi sedemikian buruknya.

 

“Hei, tua Bangka!? Kau kah pelakunya itu? Tanya seorang gerombolan Banas Pati yang hendak memenggal kepala dukuh.

 

“Benar tuan. Aku lah pelakunya. Jadi lepaskanlah dukuh itu dan buatlah perhitungan denganku!” jawab Eyang Jati.

 

“Sebutkan namamu?!” tiba-tiba Senopati Danadyaksa yang selama ini diam angkat bicara.

 

“Tuan, orang-orang mengenalku sebagai Jati. Warga desa Mudal Bening memanggilku Eyang Jati”.

 

Nampaklah Senopati Danadyaksa berpiir sembari mengawasi Eyang Jati. Ia mengingat-ingat adakah tokoh angkatan tua dalam dunia persilatan yang bernama Jati. Setelah mengingat nama demi nama, Senopati Danadyaksa tidak pernah sekalipun mendengar seorang pendekar di masa lampau yang bernama Eyang Jati. Namun ia tetap waspada.

 

“Dengan menyerang Prajurit utusan Kerajaan Watu Mukti berarti kau secara langsung hendak menantang seluruh pasukdan dan kekuasaan Sang Prabu?!” kembali Senopati Danadyaksa bertanya.

 

Lalu dengan sebuah tarikan nafas yang dalam, Eyang Jati menjawab pertanyaan Senopati Danadyaksa,

 

“Sudahlah Tuan. Aku sudah tua. Apalah arti nyawaku ini yang mungkin takkan lebih panjang dari umur kuda yang Tuan tunggangi. Aku melakukan itu hanya karena aku tak ingin anak-anakku, cucu-cucuku kelaparan. Namun bukanlah berate aku hendak mengadakan perlawanan kepada Kerajaan Watu Mukti. Bawalah aku dan aku terima segala hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Ampunilah seluruh warga Mudal Bening. Mereka tiada mengetahui duduk perkaranya. Akulah yang bertanggung jawab!”

 

Betapa kalimat yang terucap oleh Eyang Jati menyesakan hati warga Mudal Bening. Lelaki yang berusia muda pun meneteskan air mata. Mereka terharu kepada seorang tua yang begitu memperdulikan hidup mereka, anak-anak mereka. Di dalam hati mereka tidak rela Eyang Jati dibawa para prajurit itu, namun apa daya mereka tidak mampu berbuat suatu hal pun. Gegabah dan mengiktui amarah hanya akan mempercepat kematian.

 

Berbeda halnya dengan Senopati Danadyaksa, ia tidak tersentuh atas kalimat yang diucapkan Eyang Jati. Kecurigaannya justru semakin bertambah, Ia menoleh kepada seorang di sebelah krinya, yaitu satu dari gerombolan Banas Pati.

 

“Wulung Alas, surung orang-orangmu memberi pelajaran pada orang tua itu!” Senopati Danadyaksa memberikan pertintah kepada orang di sebelahnya.

 

“Baik Senopati!” jawab orang yang bernama Wulung Alas yang kemudian memandang kepada Eyang Jati seraya berkata,”Walang Ireng! Bunuh orang itu!”

 

Orang yang bernama Walang Ireng adalah orang yang hendak memenggal kepala dukuh Mudal Bening.

 

“Baik Kakang!” jawab Walang Ireng.

 

“Hei, orang tua, sebaiknya kau kerahkan seluruh ilmu kanuraganmu agar kau tidak binasa tanpa perlawanan! Hal seperti itu takkan membuatku puas!” seru Walang Ireng kepada Eyang Jati.

Tak ada sepatah katapun terucap dari Eyang Jati. Ia tetap berdiri tenang memandang Walang Ireng. Orang yang hendak mencabut nyawanya. Hal demikian membuat Walang Ireng waspda, sebab jika memang benar dia orang yang menyerang prajurit kerajaan Watu Mukti maka dapat dipastikan ia memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi sebab mampu mengalahkan dua puluh prajurit sekaligus. Maka dengan membentuk kuda-kuda,Walang Ireng segera melompat ke arah Eyang Jati dengan mengerahkan seluruh tenaga pada tangan kanannya yang memainkan senjata. Sebuah serangan yang langsung hendak menebas kepala orang yang ditujunya. Sebaliknya terjadi hal yang luar biasa pada Eyang Jati, ketika Walang Ireng menyerangnya dengan segenap tenaga, tiada suatu bentuk pertahanan pun yang seharusnya dilakukan oleh Eyang Jati.  Mengejutkan bahwa reaksi yang dilakukan oleh Eyang Jati terhadap sebuah serangan ialah dengan memejamkan mata, seolah ia sudah pasrah terhadap ajal yang akan datang menjemputnya melalui serangan Walang Ireng. Namun demikian tiada terbesit ketakutan pada wajah Eyang Jati.

 

Ketika gerak Walang Ireng semakin dekat dan pedangnya bergerak cepat, terjadi hal yang di luar dugaan. Pedang itu terlepas dari tangan Walang Ireng. Kejadian itu begitu cepatnya sehingga tidak terlihat oleh warga Mudal Bening. Namun tidak demikian halnya dengan Senopati Danadyaksa beserta gerombolan Banas Pati. Oleh sebab mata yang terlatih dengan pertempuran juga ditambah ilmu kanuragan yang mereka miliki maka mereka dapat melihat bahwa ada sebuah batu mengarah kepada tangan Walang Ireng.

 

“Biadab! Siapa berani melempar batu kepadaku?! Pekik Walang Ireng sembari memegang tangannya yang berdarah.

 

“Aku!” sebuah suara muncul dari gubuk di dekat padukuhan.

 

Orang itu berjalan dengan tenang mendekati Eyang Jati. Semuanya terkejut bukan main, bahkan semakin membuat pusing warga. Kini orang yang berurusan dengan para prajurit serta gerombolan Banas Pati adalah Samana. Orang yang tinggal satu atap dengan Eyang Jati. Mereka semakin menduga-duga, siapakah Eyang Jati? Siapakah Samana? Mereka juga meneba-nebak kemana akhir cerita ini yang mau tak mau bersangkut paut dengan hidup mereka.

 

“Akulah orang yang melempar batu itu kepadamu dan akulah sejatinya orang yang kalian cari itu.” Kata Samana.

 

“Kurang ajar kau bocah tengik!” Sambil mengucapkan kalimat itu Walang Ireng menyerang Samana. Tangan kirinya bergerak hendak memukul wajah Samana. Samana tidak menghindar, dengan kakinya ia menendang mengarah ke lambung Walang Ireng. Ternyata tendangan Samana lebih cepat dari pukulan Walang Ireng, sehingga belum sempat tangan Walang Ireng mengenai wajah Samana, ia sudah terlempar jatuh.

 

Kejadian ini mendapat reaksi serempak dari gerombolan Banas Pati. Mereka langsung turun dari kudanya dan hendak menyerang Samana. Tak terkecuali orang yang bernama Wulung Alas. Mereka geram melihat kawannya dipermalukan sedemikian rupa.

 

Ketika mereka hendak menyerang Samana, seorang di belakang berteriak,”Tunggu!”

 

Tanpa menoleh Wulung Alas menjawab,”Apalagi yang harus kita tunggu senopati?! Pelakunya sudah di depan mata kita! Maka aku akan membinasakannya!”

 

“Tunggulah wahai Wulung Alas! Dengarkanlah aku! Kita kedatangan tamu agung, dan untuk menyambut tamu agung kita harus menyambutnya sebaik mungkin!” kata Senopati Danadyaksa yang kemudian disusul tawanya yang angkuh.

 

Wulung Alas menoleh kepada Senopati Danadyaksa,”apa maksud Senopati? Siapakah tamu agung itu?”

 

“hahahaha, ketahuilah Wulung Alas! Tamu agung itu ada di depanmu! Yang telah merobohkan Walang Ireng dengan sekali tendangan!”

 

“Siapakah dia Senopati?”

 

“Wulung Alas, tamu agung kita ini bernama Aryasatya.”

 

Berdesirlah dada Samana mendengar nama itu itu diucapkan. Sedangkan warga Mudal Bening terheran-heran, karena tidak mengetahui bahwa Samana memiliki nama lain Aryasatya. Demikian pula Eyang Jati.

 

“apa peduliku jika dia bernama Aryasatya?! Aku tak mengenalnya dan aku tetap akan membinasakannya!” kata Wulung Alas kepada Senopati Danadyaksa.

 

“Hei, Wulung Alas. Kau memang tak mengetahui siapakah Aryasatya, sebab memang nama itu hanya dikenal oleh orang-orang tertentu di lingkungan kerajaan. Tapi kau akan binasa bila berlaku sembarangan kepadanya!”

 

Terkejutlah Wulung Alas mendengar perkataan Senopati Danadyaksa. Namun pasti bukan dengan suatu alasan yang sepele sampai-sampai Senopati Danadyaksa memperingatkannya sejauh itu.

 

“Siapkah Aryasatya itu wahai Senopati Agung Danadyaksa?” kembali Wulung Alas bertanya.

 

Dengan mata yang bengis Senopati Danadyaksa memandang Samana. Tawanya seperti seringai Serigala.

 

“Aku yakin kau pernah mendengarnya. Sebuah nama lain miliknya yang menggetarkan rimba persilatan dan dinding-dinding kerajaan. Ketahuilah Wulung Alas, bahwa sejatinya orang di depanmu itu mahsyur dengan gelar “BALIN BAYANAKA!”

 

 

Bersambung ……..

One thought on “PRAHARA MAHA GELANG

Add yours

  1. ma”f mengganggu , vespa turanggga biru nya apa masih ada ??
    ada nomor telp yang bisa dihubungi?? thx

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑